Tuesday, January 13, 2009

Presiden RI : Kelakuan..kelakuan....hehehehehe #4

"Behind the Scene" (4): Habibie, Presiden Pintar yang Tidak Pernah Mau Kalah
Rabu, 17 Desember 2008 | 12:09 WIB

Meski sekian lama menjadi bagian dari masa Pemerintahan Soeharto dan menganggap Soeharto adalah guru sekaligus bapaknya, gaya kepemimpinan Habibie jauh bertolak belakang dengan orang yang dihormatinya itu. Muladi, mantan Menteri Kehakiman di era Orde Baru, menuturkan, sidang kabinet yang dipimpin Soeharto selalu berlangsung dalam suasana mencekam. Para menteri takut angkat tangan mengajukan diri untuk bicara. Sementara itu, di zaman Habibie, para menteri justru berebut mengacungkan jari. Muladi menggambarkan, susana sidang kabinet seperti sebuah seminar: riuh, panas, kadang gebrak-gebrak meja seperti mau berkelahi.

Habibie sendiri yang merangsang suasana seperti itu karena dia memang senang berdebat. Semakin didebat, ia semakin bersemangat. Karena semua menteri boleh bicara dan perdebatan dibuka seluas-luasnya sebelum diambil keputusan, sidang kabinet bisa berlangsung sampai larut malam.

Habibie, menurut Tjipta dalam bukunya “Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, adalah seorang extrovert. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Semua orang terkejut, terutama Almarhum Ali Alatas yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ketika Habibie tiba-tiba mengumumkan kepada dunia internasional tentang pemberian opsi kepada rakyat Timor Timur: tetap bergabung dengan Indonesia atau melepaskan diri sebagai negara merdeka.

Tjipta menganalisa, biang keladi dari keputusan besar ini adalah sepucuk surat Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard, yang ditujukan kepada Habibie pada Desember 1998. Menurut penuturan Juwono Soedarsono, Habibie marah membaca isi surat Howard yang meminta Indonesia mempertimbangkan hak politik rakyat Timor Timur untuk menyatakan penentuan nasib sendiri.

Habibie merasa surat itu seperti tantangan sekaligus kritik terhadap Pemerintah Indonesia. “Karena Habibie mempunyai tabiat tidak mau kalah dengan siapa pun maka tantangan itu pun secara spontan dijawab,” tulis Tjipta.

Dalam sidang kabinet 27 Januari 1999, kebijakan pemberian opsi ini dipertanyakan oleh Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. “Kalau plebisit kalah, bagaimana? Siapa bertanggung jawab? Ini kan nanti akan terjadi eksodus, eksodus dari para transmigran yang sudah 25 tahun di sana. Siapa yang bertanggung jawab?” cecar Hendro seperti ditulis dalam buku itu.

Habibie dengan sigap menjawab, ”Saya bertanggung jawab.”

Fahmi Idris, Menteri Tenaga kerja kala itu, segera menimpali, ”Tanggung jawab apa, Presiden?”

Wajah Habibie tampak merah. Seorang menteri dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lantas menengahi situasi panas ini. (halaman 154)

1 comment:

Anonymous said...

Delete shis text plz. Sorry